Senin, 10 Agustus 2020

SEPOTONG KENANGAN

                                                           

        Pukul 18.25 menit. KM Dobonsolo merapat di pelabuhan Tenau. Aku dan teman-teman team pekerja sosial dari Ambiona, akhirnya harus bernafas legah. Telah dengan selamat tiba di Kupang. Kota yang lebih dikenal dengan sebutan kota karang. Inilah pertama kali aku terpaksa harus menginjak tanah, kota berbatu karang.

Dari atas Dobonsolo dapat  kulihat jelas penumpang mulai berdesakan turun naik. Betapa padatnya penumpang yang sedang antri untuk naik maupun turun. Pemandangan ini memiliki daya pikat  tersendiri. Antrean itu bak semut sedang bergotong royong mungut makanan.

Aku dan teman-teman harus ke kota ini. KM Dobonsolo takdapat bahkan takdiijinkan untuk merapat ke Ambon. Kami meninggalkan keluarga, suami, istri dan anak-anak; untuk saudara-saudara  yang mengungsi akibat permainan laga anak-anak bangsa yang telah dirasuki dewa kejatahan. Kami  bertugas mendata keadaan saudara-saudara yang mengungsi dari Ambon-Maluku Selatan di Saum-laki. Kemarin, hari ini telah terjadi permainan laga anak bangsa yang sudah tidak memiliki semangat bhineka tunggal ika.

***

Selamat  Datang Di Kupang Kota Kasih. Tulisan ini terdapat di sebuah baliho sekira dua kilo meter sebelum memasuki deretan pertokoan. Semua membisu. Entah apa yang sedang dipikirkan. Aku taktahu. Yang terdengar hanya demtuman musik keras dari tape angkota yang kami tumpangi. Sesekali terdengar klakson angkot dan  mobil lain bersahut-sahutan saat berpapasan.

 Pikiranku masih tertuju pada tulisan Selamat  Datang Di Kupang Kota Kasih. Kota kasih apa maksudnya? Apakah itu singkatan atau semboyan seperti Ambon Kota Manise? Aku penasaran ingin tahu.

“Kota Kasih, apa maksudnya?” tanyaku ingin tahu.

seng tau” sela pak Valen

“Kota Kasih itu, maksudnya orang-orang yang tinggal di kota ini harus saling mengasihi satu sama yang lain. Karena cinta kasih itu mendamaikan,” jelas  Pak Anton.

Batul Oom! Dan kasih itu sendiri disingkat dari Karya, Aman, Sehat, Indah dan Harmonis,” sambung sopir angkot sambil mengecilkan volume tape.

Kami terlibat cerita tentang kota yang baru untuk pertama kalinya aku menyentuhnya. Kasih seharusnya dimiliki oleh setiap insan di muka bumi ini karena kasih adalah yang terbesar di antara iman dan harapan. Masih adakah kasih di hatiku dan di hatimu? Demi cinta kasihnya kepada keluarga Pak Anton, salah seorang rekan kerjaku telah mengungsikan keluarganya dua tahun lalu ke kota ini. Telah membangun sebuah rumah sederhana di Penfui.  Ya, Keadaan terkadang memaksa kita untuk melakukan tindakan penyelamatan. Menghindar jika sempat. Tapi apa boleh buat apabila terpaksa harus menghadapinya.

***

Malam semakin larut. Ketenangan kembali menyapa. Tak lagi satu insan berkeliaran. Semua terlelap dalam buaian bunga-bunga tidurnya. Namun, masih tersisa aku, satu raga yang utuh berteduh  di balik jendela kaca yang menganga membiarkan angin malam masuk dan menyejukkan kegerahan yang meliputi kota karang, kota kasih dan pikiranku ini.

Sebuah kenangan lama yang cukup lama takkuhiraukan, datang menyapa. Tentang Ambon. Kota Manise yang dulu turut membesarkanku. Hari ini Ambon kembali mengabarkan permainan laga anak-anaknya yang kian memanas. Ya permainan yang mengikuti kemajuan zaman. Bukan lagi cakelele, bambu gila, pukul sapu atau saureka-reka, tidak lagi dengan parang salawaku. Kini, permainannya lebih maju, lebih modern, lebih hebat, lebih gila, lebih nakal dan lebih berani. Senjata, bom, granat dan mortar merupakan andalan utamanya. Wajah-wajah ceria yang saling memandang mengalungkan pela gandong dalam lingkaran kain putih, menghilang entah ke mana. Yang ada hanya muka dan muka yang saling pandang mengukirkan dendam dan panas siap bertarung dari wajah-wajah yang dulunya pernah satu dalam arena “masohi” dan makan patita. Masohi yang dulunya pernah mendandani kotanya menjadi ratu manise. Yang merengut lebih dari sekali Adipura. Kini menjadi Masohi yang mendandani kotanya dengan dandanan menor dan acak-acak, gaul dengan permainan laganya.

Kembali kubuka album lama, saat saya masih bersama mereka dan keluarga, sahabat-sahabatku. Terutama anak-anak kami. Mereka menunjukkan bahwa betapa pentingnya hidup damai dan saling mengasihi. Mereka bermain pasir, tanah, masak-masakan atau lompat tali. Satu yang paling mengesankan saat suatu sore, mereka mendandani diri sebagi putra-putri kota manise. Dengan bermahkota daun-daun yang dirangkai dengan lidi-lidi sapu, serta bergaunkan pakaian-pakaian kotor, berbau keringat, rambut kusut, kering dan kusam. Itulah anak-anak kami.

Mereka rata-rata baru menduduki kursi sekolah dasar. Dengan bangganya menyebut diri mereka sebagai putra-putri manis dari Ambon. Tetapi suamiku lebih senang menjuluki mereka sebagai tante-tante gila dari pasar.

“Pasar mardika” kata salah satu dari mereka.

Seng” sela yang lain tak mau kalah, “dari pasar gotong loyong”.

Suamiku sempat mengabadikan sore itu dalam selembar Konica Centuria, yang tentunya dapat mengelitik perut kita bila memandangnya.

Batinku berdesah, mengingat saat-saat yang memisahkan kami. Saat itu, kota Ambon masih mengisahkan hidangan makanan patita dan alunan pela gandong anak-anak kota yang dilingkari kain putih, serta ikrar janji persaudaraan. Namun seakan jadi yang terakhir, jadi symbol perpisahan dua saudara Acang dan Obet; islam dan nasrani. Rasa kemanusiaan emang sedang diuji, dengan berbagai macam gangguan. Namun jika damai dan kasih dipadukan maka amanlah bangsa ini. Tapi mengapa damai dan kasih saling bermusuhan, saling bunuh? Mengapa harus terjadi di negara yang mengakui kebebasan beragama? Untuk apa ada semboyang Bhineka Tunggal Ika? Apakah nyawa manusia tidak memiliki harga lagi? Mengapa harus di Ambon? Mengapa kota Manise lemah? Mungkinkah ia shock dengan pukulan kuat yang menimpanya, saat bangunan-bangunan megah kebanggaannya telah menjadi puing-puing. Kota manise yang dulu saya kenal sebagai kota cerewet yang selalu ceria. Kini berubah drastis menjadi pendiam. Kota manise itu hanya mampu membisikan pela gandong untuk kuping-kuping anak-anaknya yang kini seakan telah tuli dan lebih menghiraukan permainan laganya.

Jeritan dan teriakan bayi-bayi dan para pelajar yang mengisi sebagaian bangku di arena laga itu. Andaikan mereka itu wasit, akan tiupkan pluit peringatan dan berteriak “Hentikan permainan itu! Kami adalah penerus-penerus kota dan bangsa ini. Sekolah kami, tiada luput sebagai taruhan. Di mana lagi kami dapat meniti ilmu yang kelak akan menjadi jaminan untuk membesarkan kota ini?”. Namun, selamanya mereka tak mengerti, karena selalu saja ada tanya tentang gedung-gedung, rumah-rumah dan tempat-tempat ibadat yang kini tinggal puing; tentang kepulan asap yang tak hentinya membuat langit cerah seakan pekat. Tentang bunyi-bunyi bom dan senjata yang selalu datang seperti lonceng gereja yang bertalu-talu, setiap jam atau mereka bertanya-tanya tentang pohon-pohon gunung nona yang tak mampu lagi  menyejukkan udara.

 Oh … Tuhan; permainan laga itu semakin serunya. Semakin menjadi-jadi. Taklagi merupakan permaianan laga, tetapi kini berangkat menjadi pekerjaan tetap yang menghasilkan kota perang dengan status darut sipil. Saling mencurigai, saling balas dendam, serta remaja-remaja kota yang cacat serta kurang ilmu. Remaja-remaja itu taktahu harus bicara apa lagi. Mereka hanya mampu merengek-rengek pada ibunya. Dan saat itu mereka menenukan ibunya yang telah membisu seribu bahasa. Hanya mampu air matanya bertutur, serta berharap suatu hari nanti anak-anaknya akan mendengar dan merenungkan kembali makna pela gandong. Atau seandainya dia dapat membujuk Patimura dan Kristina. Yang mematung ditugunya dan menyerukan kembali pesan-pesannya. Mungkinkah anak-anaknya akan kembali seperti semula. Bermain bambu gila, pukul sapu, saureka-reka, cakalele, tari lenso, serta kembali menyatu dua saudara Acang dan Obet dalam hidangan makan Patita?

***

Hal itu sangat nyata dalam mimpiku malam ini. Dan saat kudasari, pagi ini barisan nako disebelahku masih menganga dan tersenyum manis sang dewa cahaya menyambut pagiku, di kota Kasih, Kota Karang-Kupang.***

Kenanganviny082002

Cerpen ini telah diterbitakan dalam buku berjudul Menanti Cahaya Rembulan penerbit LovRINZ PUBLISHING CV RinMedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar