Pukul 18.25 menit. KM Dobonsolo merapat di pelabuhan Tenau. Aku dan teman-teman team pekerja sosial dari Ambiona, akhirnya harus bernafas legah. Telah dengan selamat tiba di Kupang. Kota yang lebih dikenal dengan sebutan kota karang. Inilah pertama kali aku terpaksa harus menginjak tanah, kota berbatu karang.
Dari atas Dobonsolo
dapat kulihat jelas penumpang mulai
berdesakan turun naik. Betapa padatnya penumpang yang sedang antri untuk naik
maupun turun. Pemandangan ini memiliki daya pikat tersendiri. Antrean itu bak semut sedang
bergotong royong mungut makanan.
Aku dan teman-teman harus
ke kota ini. KM Dobonsolo takdapat bahkan takdiijinkan untuk merapat ke Ambon.
Kami meninggalkan keluarga, suami, istri dan anak-anak; untuk saudara-saudara yang mengungsi akibat permainan laga
anak-anak bangsa yang telah dirasuki dewa kejatahan. Kami bertugas mendata keadaan saudara-saudara yang mengungsi
dari Ambon-Maluku Selatan di Saum-laki. Kemarin, hari ini telah terjadi
permainan laga anak bangsa yang sudah tidak memiliki semangat bhineka tunggal
ika.
***
Selamat Datang Di Kupang
Kota Kasih. Tulisan ini terdapat di sebuah baliho
sekira dua kilo meter sebelum memasuki deretan pertokoan. Semua membisu. Entah
apa yang sedang dipikirkan. Aku taktahu. Yang terdengar hanya demtuman musik keras dari tape
angkota yang kami tumpangi. Sesekali terdengar klakson angkot dan mobil lain bersahut-sahutan saat berpapasan.
Pikiranku masih tertuju pada tulisan Selamat
Datang Di Kupang Kota Kasih. Kota kasih apa maksudnya? Apakah itu
singkatan atau semboyan seperti Ambon Kota Manise? Aku penasaran ingin tahu.
“Kota Kasih, apa maksudnya?” tanyaku ingin tahu.
“seng tau” sela pak Valen
“Kota Kasih itu,
maksudnya orang-orang yang tinggal di kota ini harus saling mengasihi satu sama
yang lain. Karena cinta kasih itu mendamaikan,” jelas
Pak Anton.
“Batul Oom! Dan kasih itu sendiri disingkat dari Karya, Aman, Sehat, Indah dan
Harmonis,” sambung sopir angkot sambil mengecilkan volume tape.
Kami terlibat cerita
tentang kota yang baru untuk pertama kalinya aku menyentuhnya. Kasih seharusnya
dimiliki oleh setiap insan di muka bumi ini karena kasih adalah yang terbesar
di antara iman dan harapan. Masih adakah kasih di hatiku dan di hatimu? Demi cinta kasihnya kepada keluarga Pak
Anton, salah seorang rekan kerjaku telah mengungsikan keluarganya dua tahun
lalu ke kota ini. Telah membangun sebuah rumah sederhana di Penfui. Ya, Keadaan terkadang
memaksa kita untuk melakukan tindakan penyelamatan. Menghindar jika sempat.
Tapi apa boleh buat apabila terpaksa harus menghadapinya.
***
Malam semakin larut.
Ketenangan kembali menyapa. Tak lagi satu insan berkeliaran. Semua terlelap
dalam buaian bunga-bunga tidurnya. Namun, masih tersisa aku, satu raga yang
utuh berteduh di balik jendela kaca yang
menganga membiarkan angin
malam masuk dan menyejukkan kegerahan yang meliputi kota karang, kota kasih dan
pikiranku ini.
Sebuah kenangan lama yang
cukup lama takkuhiraukan, datang
menyapa. Tentang Ambon.
Kota Manise yang dulu turut membesarkanku. Hari ini Ambon kembali
mengabarkan permainan laga anak-anaknya yang kian memanas. Ya permainan yang
mengikuti kemajuan zaman. Bukan lagi cakelele, bambu gila, pukul sapu atau
saureka-reka, tidak lagi dengan parang salawaku. Kini, permainannya lebih maju,
lebih modern, lebih hebat, lebih gila, lebih nakal dan lebih berani. Senjata,
bom, granat dan mortar merupakan andalan utamanya. Wajah-wajah ceria yang
saling memandang mengalungkan pela gandong dalam lingkaran kain putih,
menghilang entah ke mana. Yang ada hanya muka dan muka yang saling pandang
mengukirkan dendam dan panas siap bertarung dari wajah-wajah yang dulunya
pernah satu dalam arena “masohi”
dan makan patita. Masohi yang dulunya pernah mendandani kotanya menjadi ratu
manise. Yang merengut lebih dari sekali Adipura. Kini menjadi Masohi yang
mendandani kotanya dengan dandanan menor dan acak-acak, gaul dengan permainan
laganya.
Kembali kubuka album
lama, saat saya masih bersama mereka dan keluarga, sahabat-sahabatku. Terutama
anak-anak kami. Mereka menunjukkan bahwa betapa pentingnya hidup damai dan
saling mengasihi. Mereka bermain pasir, tanah, masak-masakan atau lompat tali. Satu yang paling mengesankan saat
suatu sore, mereka mendandani diri sebagi putra-putri kota manise. Dengan
bermahkota daun-daun yang dirangkai dengan lidi-lidi sapu, serta bergaunkan
pakaian-pakaian kotor, berbau keringat, rambut kusut, kering dan kusam.
Itulah anak-anak
kami.
Mereka rata-rata baru
menduduki kursi sekolah dasar.
Dengan bangganya menyebut diri mereka sebagai putra-putri manis dari Ambon.
Tetapi suamiku lebih senang
menjuluki mereka sebagai tante-tante gila dari pasar.
“Pasar mardika” kata salah satu dari mereka.
“Seng” sela yang lain tak mau kalah, “dari pasar gotong loyong”.
Suamiku sempat mengabadikan sore itu dalam
selembar Konica Centuria, yang
tentunya dapat mengelitik perut kita bila memandangnya.
Batinku berdesah, mengingat saat-saat
yang memisahkan kami. Saat itu, kota Ambon masih mengisahkan hidangan makanan
patita dan alunan pela gandong anak-anak kota yang dilingkari kain putih, serta
ikrar janji persaudaraan. Namun seakan jadi yang terakhir, jadi symbol perpisahan
dua saudara Acang dan Obet; islam dan nasrani. Rasa kemanusiaan emang
sedang diuji, dengan berbagai macam gangguan. Namun jika damai dan kasih
dipadukan maka amanlah bangsa ini. Tapi mengapa damai dan kasih saling
bermusuhan, saling bunuh? Mengapa harus terjadi di negara yang mengakui
kebebasan beragama? Untuk apa ada semboyang Bhineka Tunggal Ika? Apakah nyawa
manusia tidak memiliki harga lagi? Mengapa harus di Ambon? Mengapa kota Manise
lemah? Mungkinkah ia shock dengan
pukulan kuat yang menimpanya, saat bangunan-bangunan megah kebanggaannya telah
menjadi puing-puing. Kota manise yang dulu saya kenal sebagai kota cerewet yang
selalu ceria. Kini berubah drastis
menjadi pendiam. Kota manise itu hanya mampu membisikan pela gandong untuk
kuping-kuping anak-anaknya yang kini seakan telah tuli dan lebih menghiraukan
permainan laganya.
Jeritan dan teriakan
bayi-bayi dan para pelajar yang mengisi sebagaian bangku di arena laga itu.
Andaikan mereka itu wasit, akan tiupkan pluit peringatan dan berteriak “Hentikan
permainan itu! Kami adalah penerus-penerus kota dan bangsa ini. Sekolah kami, tiada luput
sebagai taruhan. Di mana
lagi kami dapat meniti ilmu yang kelak
akan menjadi jaminan untuk membesarkan kota ini?”.
Namun, selamanya mereka tak mengerti, karena selalu saja ada tanya tentang
gedung-gedung, rumah-rumah dan tempat-tempat ibadat yang kini tinggal puing;
tentang kepulan asap yang tak hentinya membuat langit cerah seakan pekat.
Tentang bunyi-bunyi bom dan senjata yang selalu datang seperti lonceng gereja
yang bertalu-talu, setiap jam atau mereka bertanya-tanya tentang pohon-pohon
gunung nona yang tak mampu lagi
menyejukkan udara.
Oh … Tuhan; permainan laga itu semakin
serunya. Semakin menjadi-jadi. Taklagi merupakan permaianan laga, tetapi kini
berangkat menjadi pekerjaan tetap yang menghasilkan kota perang dengan status
darut sipil. Saling mencurigai, saling balas dendam, serta remaja-remaja kota
yang cacat serta kurang ilmu. Remaja-remaja itu taktahu harus bicara apa lagi.
Mereka hanya mampu merengek-rengek pada ibunya. Dan saat itu mereka menenukan
ibunya yang telah membisu seribu bahasa. Hanya mampu air matanya bertutur,
serta berharap suatu hari nanti anak-anaknya akan mendengar dan merenungkan
kembali makna pela gandong. Atau seandainya dia dapat membujuk Patimura dan
Kristina. Yang mematung ditugunya dan menyerukan kembali pesan-pesannya. Mungkinkah anak-anaknya akan
kembali seperti semula. Bermain bambu
gila, pukul sapu, saureka-reka, cakalele, tari lenso, serta kembali menyatu dua
saudara Acang dan Obet dalam hidangan makan Patita?
***
Hal itu sangat nyata
dalam mimpiku malam ini.
Dan saat kudasari, pagi ini barisan nako disebelahku masih menganga dan
tersenyum manis sang dewa cahaya menyambut pagiku, di kota Kasih, Kota
Karang-Kupang.***
Kenanganviny082002
Cerpen ini telah diterbitakan dalam buku berjudul Menanti Cahaya Rembulan penerbit LovRINZ PUBLISHING CV RinMedia

Tidak ada komentar:
Posting Komentar