Hari itu, 7 Juni 2003. Langit kota Kupang Nampak cerah, secerah terpaan bias-bias sinar sang dewa cahaya, di ufuk Timur. Pagi ini angin berhembus perlahan, sejuk dan nayaman rasanya. Kesibukan hari itu mulai terasa kembali. Namun ada satu hal yang sangat disayangkan. Hari itu angkota mandek (mogok), sehingga aktifitas terhambat. Banyak orang yang tidak ke tampat kerja, ada yang terpaksa jalan kaki, karena jarak ke tempat di mana mereka bekerja tidak terlalu jauh. Tetapi mereka yang biasanya dua kali numpang angkot terpaksa tidak masuk kerja.
Angkot mandek dampak dari harga BBM yang melambung tinggi
sedangkan tarif angkutan belum disesuaikan. Sopir
dan pemilik angkot merasa rugi. Ini menjadi persoalan
yang sering terjadi manakala harga BBM dinaikkan, tapi keputusan tentang tarif
angkutan terlambat diumumkan. Yang menjadi pemandangan menariklah jalur jalan
dan halte yang biasa dipadati angkota sepi. Tapi penumpang membludak.
Sesekali muncul dua, tiga
angkot tapi tidak berhenti untuk muat penumpang. Sopir dan kondektornya saja
yang ada di sana
sambil mutar musik
keras.
***
Mogoknya angkot membuat
hatiku sangat cemas. Gelisah tiada bandingannya. Sesekali aku menatap Seiko
yang melinkar di tanganku. Akh . . . mengapa waktu berjalan begitu cepat.
Sementara masih cukup jauh, jarak untuk mencapai sekolahku. Gelisah dan semakin
gelisah. Jantung berdetak kencang, tak seperti biasanya. Mulanya aku anggap pengaruh jalan kaki
terlalu jauh. Tapi ini tidak seperti biasanya, mengapa seperti ini? . . .
gerutu hati ini. Mengapa dikala aku harus
menunjukkan hasil perjuangan selama tiga tahun ini, angkota mogok dan jiwaku
bak terpenjara kegelisahan? Aku harus
kuat, aku harus bisa. Ya Tuhan. . . berilah aku kekuatan untuk menghadapi semua
ini. Bantulah aku agar tidak terlambat tiba di sana. Sejenak aku termenung
memikirkan berbagai beban yang telah orang tuaku pikul hanya untuk sekolahku.
Mereka bekerja keras dan berdoa agar aku sukses dalam studi sehingga kelak jadi
orang terpandang, Jadi orang besar itu harapannya.
***
Alhamdulillah!
Waktu ujian belum dimulai ketika aku tiba di halaman sekolah. Teman-teman telah
berkumpul di sana dan sesaat akan membentuk barisan di depan ruangan ujian
masing-masing. Keringat di wajah mulai mengering, karena dihembus angin yang
perlahan dan menyejukkan kegerahan yang kurasakan. Sejuk dan tenang rasanya.
Namun ketika dering bel terdengar seakan-akan tak dirasakan semuanya itu. Hati
mulai cemas lagi. Jantung berdetak kencang, tak seperti biasanya. Aku mulai
lemas, ketika itu dada mulai ikut-ikutan mengguntur. Ahk. . . mengapa seperti
ini?
Semuanya
sudah terjadi, dan tak dapat dihindari, ketika lembaran soal ujian dibagikan.
Kegelisahan dan kecemasan ini, akhirnya berbaur bersama sejuta tanya yang hadir
dalam benak ini, yang juga belum tahu jawabannya. Soal macam mana yang muncul?
Yang mana yang ditanya? Sulit atau gampung? Yang ini atau yang itu?
Jangan-jangan soal tahun lalu muncul? Ada-ada saja kecemasan yang mengaul-gauli
hati saat itu.
Nomor demi nomor soal, satu per satu dibaca semuanya.
Mulai dari satu . . . lima . . . sepuluh
. . . lalu dua puluh. Akh . . . sulitnya bukan main. Ini yang mana yang
benar, semuanya hampir sama. Mungkin a. Tapi A hampir sama dengan C, D, dan E.
Jangan-jangan soal yang salah. Oh . . . kecuali. Pasti B yang benar. Yang ini
pasti E dan seterusnya. Nomor yang ini mudah, yang itu sedikit-sulit. Yang ini
gampang. Kalau yang ini lebih gampang lagi. Yang ini, Sulit! Oh gampang juga.
Dan aha . . . lega. Bebas kini, hati yang terbelenggu kelalutan. Soal-soal tadi
seakan-akan membawa kunci. Yah kunci kebebasan bebas dari beban pikiran, bebas
dari tekanan, bebas dari tugas, pekerjaan rumah, bebas untuk . . . tidak
belajar. Dan bebas untuk apa saja.
Kini
rasanya ada secercah kesejukan, mulai memasuki, ruang ujian saat itu. Walaupun
di luar udara mulai panas. Hati teras legah dan nyaman. Angin mulai bertiup
kencang. Beruntung di halaman sekolahku ada taman, sehingga kesejukan memasuki
ruang ujian. Hati pun mulai bersuka ria, tak kala setipa soal diselesaikan
tanpa ganjalan berarti.
Hari itu
merupakan hari penentuan. Hari untuk menunjukan hasil perjuangan selama tiga
tahun. “Perjuangan tiga tahun, diakhiri dengan pertempuran – ujian akhir tiga
hari dan tiga kali bel di hari terakhir.” Itulah kata-kata guru bahasa kala
menutup pertemuan terakhir, pelajaran Bahasa Indonesia, waktu itu. Sungguh,
sangat menyenangkan masa-masa di es em u yang telah aku jalani, nikmati
danakhiri dengan baik. Kini aku sangat bebas.saat-saat yang menegangkan berlalu
sudah. Ujian tiga hari telah berlalu dan kini yang tersisa hanyalah hembusan
nafas lega dan sorak-sorai di hati. Tetapi perasaan ini tak berlangsung lama.
Karena dibalik semua itu, terlukis begitu banyak kekecewaan dan kecemasan. Cemas,
karena hasil ujian masih dinanti. Kecewa, karena selama ujian tiga hari, ada
beberapa soal yang takterjawab. Apa lagi kalau nanti ternyata aku tidak lolos.
Akh . . . masih harus menanti lagi. Pekerjaan yang satu ini yang membosankan,
apalagi turut membuat hati cemas takkaruan.
***
Ke mana aku
akan melanjutkan? Ke universitas mana dan fakultas apa. Namun apakah orang
tuaku masih mampu menyekolahkanku ke perguruan tinggi? Dengan beban ekonomi
yang menghimpit, harga-harga barang tinggi, sembako tak terjangkau akibat harga
BBM naik. Masih mampukah orang tuaku menyekolahkanku? Hal-hal ini membuat aku
berpikir panjang. Pikir punya pikir dan sesaat termenung, muncullah suatu ide
agar aku jangan terlampau hanyut dan tengelam, dalam kegelisahan dan kecemasan.
Sebab jalan masih panjang. Hidup ini masih membutuhkan perjuangan. Perjuangan
yang senantiasa membawa setiap aku untuk melihat, pahit manisnya hidup yang
harus diperjuangkan. Yang menentukan adalah memahami prinsip hidup
masing-masing. Sebab kebebasan yang berprinsip, merupakan dasar penataan,
penentuan dan penemuan diri.***
Penfui, Juli 2003
Cerpen ini telah diterbitakan dalam buku berjudul Menghadang Hujan penerbit LovRINZ PUBLISHING CV RinMedia

Tidak ada komentar:
Posting Komentar